Sebuah Cerita dari Sudut Merah

Sebuah Cerita dari Sudut Merah
Tumpukan buku berdebu satu persatu mulai “digerayangi” kamto, dilihatnya judulnya barang sejenak lalu diletakkan kembali. Sore itu, Kamto sendirian menyusuri lorong-lorong tempat para penjaja buku bekas meletakkan apa yang mereka punya, mulai dari buku matematika yang menjadi kurikulum tahun lalu sampai buku ekonomi Adam Smith yang sudah usang. Dering  telpon genggam keluar dari saku Kamto, sebuah HP Cina qwerty yang dibeli seken bulan lalu itu diangkatnya, “Nang ndi koe to? Tak gole’i nang kosmu kok ora ono” terdengar suara dari Handpone yang dilanjut sahutan kamto “Aku sik nang titi gantung iki, nggole’i buku apik seng iso tak tuku” (T: dimana kau To? kucari di kosmu kok tidak ada. J: aku sedang di titi gantung ni, mencari buku bagus yang bisa kubeli). Setelah percakapan selama hampir lima menit, Kamto mematikan HP nya dan kembali menyusuri lapak-lapak penjual buku di Titi Gantung itu, di sisi lain Merdeka Walk.

Kamto menghampiri satu lapak buku yang sudah beberapa kali didatanginya sebelumnya, ia pernah membeli buku Pramoedya Ananta Toer disitu, judulnya “Boemi Manoesia” kalau tidak salah. “Bang ada punya DBR-nya (Dibawah Bendera Revolusi) Soekarno?” tukas Kamto membuka bicara. Pria paruh baya yang ada di toko itu berpikir sejenak, seolah mengingat, “Wah kemarin itu aku sempat punya, tapi udah laku-lah dek. Kalau tidak salah yang beli anak ITB” sahut si penjual buku. “Buku lawas itu, susah sekali nyari’nya. Kalaupun ada harganya tinggi, pembelinya biasanya mau menjadikan koleksi itu buku!” si penjual melanjutkan lagi. Sambil memantau buku-buku yang ada di rak lapak itu Kamto berfikir sejenak tentang alternatif buku lain yang ingin dibelinya, tapi hati Kamto terlalu teguh ingin mengetahui buku yang sedang dicarinya itu. “Aku harus mendapatkannya!” imbuh Kamto dalam hati. Kembali disusurinya lorong-lorong yang ada di tempat itu berharap mendapatkan suatu keberuntungan tentang buku tersebut, tidak jarang ia berhenti di beberapa lapak untuk sekedar bertanya kepada penjualnya. Namun memang buku itu bukanlah sebuah buku gampangan seperti “Pengantar Ilmu Politik”-nya Miriam Budiarjo atau “Etika”nya K.Berstein yang memang persediaannya bejibun disana. Dengan peluh yang semakin menetes, tanpa ada seorang temanpun yang dapat diajak berbicara, Kamto kembali melangkah ke arah paling ujung barisan lapak yang ada di Titi Gantung itu.

Kamto berhenti di depan sebuah warung makan yang ada di dalam areal penjualan Buku-buku disana, ia tidak memesan makanan, ia hanya memesan segelas teh manis dingin dengan bongkah es yang dimintanya berukuran besar. Dikeluarkannya sebatang rokok dari dalam kantung kecil di tas sandangnya bersama dengan sebuah pemantik berwarna merah, ia duduk sebentar disana, dihisapnya sebatang rokok itu sambil menyeruput dengan agak cepat teh di depan tempat duduknya. Sekitar sepuluh menit ia disana berlindung dibawah tenda kedai dari sinar matahari yang hari itu cukup terik, diakhirinya rokoknya dengan sebuah tarikan panjang dilanjutkan dengan tegukan terakhir dari gelas teh manisnya. Dikeluarkannya lembar lima ribu rupiah, sembari berdiri bertanya ia “berapa bu?”, “dua ribu lima ratus” jawabnya, lantas meraih lembaran uang dari tangan Kamto. Setelah mengantongi lembaran uang kembalian minumannya, kembali Kamto melangkah di kedai-kedai penjual buku yang banyak itu, seperti tadi, sendiri.

Lebih satu jam setengah berlalu, Kamto sudah menyusuri lorong-lorong dan gang yang ada disana hingga untuk pertama kalinyaia didatangi oleh seorang penjual buku yang belum terlalu tua, “Kudengar kau mencari DBR ya?” bisik laki-laki itu, “Darimana ia tahu?” pikir Kamto sambil bertanya “abang punya yang mana?”. Si penjual buku itu lantas menaiki kursi kecil yang ada di dalam lapaknya sembari mencari di bagian teratas tumpukan buku, kemudian tak berapa lama ia menarik sebuah buku yang berukuran cukup tebal dengan kotak dan cover yang warnanya sama-sama biru dan di covernya terdapat gambar beberapa orang yang tampak bermacam ragam, namun gambar itu sangat bagus. “Ini DBR jilid pertama dik, masih bagus” katanya, Kamto yang ingin tahu bertanya “Memangnya buku ini ada berapa jilid bang?”, “ada dua jilid, aku pernah punya jilid kedua yang setauku lebih lengkap dari jilid pertamanya, sekarang udah dibeli sama orang yang masih saudara jauhku. Anak HmI dia.” Tukas penjual itu. Buku-buku seperti itu memang kebanyakan dimiliki oleh orang-orang yang memilih jalan gerakan dan aktivisme sebagai dasar berpikirnya. Tidak jarang mereka mencari buku-buku dari pemikir yang lebih kiri seperti “Madilog”nya Tan Malaka atau bahkan “Das Kapital”nya Karl Marx, yang dari kesemua buku itu bukan mudah ataupun murah mendapatkannya, dalam versi asli tentunya.

“Berapa abang kasih harga buku ini bang?” Tanya Kamto langsung. “Ini gak kulepas di bawah tigaratus dik!” sambar sang penjual menekankan. “Tigaratus ribu ya bang?” sebut Kamto lagi dengan nada agak kecewa. Sang penjual menyambar “Aku melepas jilid keduanya enamratus ribu, itu sudah tergolong murah, karena memang banyak yang cari”. “Apa tidak bisa kurang bang?” Kamto agak mendesak, sembari mengintip berapa persediaan dana yang ada di dompetnya. “Karena kulihat minat dan semangatmu ada, kukasih duaratuslimapuluh saja untukmu” balas sang penjual lagi setelah berfikir sejenak. “Itu masih ketinggian, saya anak kuliahan bang!” Kamto berusaha. Agak dilihat-lihatnya buku itu, sembari melihat spesifikasi dan kondisinya. Buku itu setebal 630 halaman dengan posisi daftar isi buku terletak di lembar paling belakang, kertasnya berwarna kuning dengan ketebalan dan jenis yang tidak biasa, mungkin dari semenjak buku itu dibuat sudah seperti itu, sepertinya.

“Kalo dibawah segitu, aku gak kasih dulu lah dek. Aku bukan niatnya mau bikin kecewa, tapi memang begitu keadaannya. Bagaimana kamerad?” lanjut si penjual. Kamto terlihat bersemangat namun disadarinya di dompetnya hanya tersedia uang seratustigapuluh dua ribu limaratus perak, itu pun sudah terhitung ongkos, akhirnya ia pun undur. “Begini saja!” Buka si penjual lagi dengan sedikit berfikir. “Aku simpankan buku ini buatmu jika kau bisa kasih uang panjar ke aku kamerad! Nanti kalau kau sudah ada uang penuh baru bukunya aku kasih, jadi buku ini tidak aku jual ke orang. Bagaimana?” Tanyanya lagi. Kamto berfikir realistis dan logis memang itu jalan yang paling baik untuknya, namun ia ingin usahanya seharian ini paling tidak membuahkan hasil, satu buku mungkin lebih baik. “Kamerad punya buku apa lagi untuk bisa dibaca, ya yang mengarah-ngarah kesitu (-gerakan-)?” sambil melihat tumpukan buku lain ia bertanya. Si penjual berfikir sejenak kemudian bergerak ke rak yang cukup tinggi di lapaknya, “Banyak juga kemarin-kemarin yang mencari buku seperti itu dek, biasanya anak organisasi, Hmi, Gmni, dan gerakan-gerakan gitu yang lain. Aku pun gak mau bikin sulit kawan-kawan, soalnya tujuannya kan baik sih. Pokoknya aku jual buku buat membantu juga!” Sambil diturunkannya sebuah buku yang kelihatan masih baru kepada Kamto. Dalam buku itu tertulis “Confession of An Economic Hitman” penulisnya John Perkins. Kamto samar-samar seperti pernah mendengar judul itu tapi entah kapan dan apa pastinya ia tak tahu.

“Tentang Konspirasi. Amerika Serikat. Kapitalisme” sambung sang penjual. Kamto mulai tertarik mendengar tentang hal-hal yang memang menurutnya sesuai dengan jalannya, buku ini membuatnya penasaran. “Tapi aku pingin kali buku tadi bang!” Kamto terdengar mengiba. “begini saja, kau kasih aku seratusduapuluh ribu untuk buku ini dan memanjar DBR-mu. Nanti kau tinggal bayar duaratus ribu lagi. Pas kan?” Saran bang penjual. “berarti buku ini harganya tujuhpuluh ribu,amboi!” pikir Kamto dalam hati. Buku itu memang masih baru dan banderol pasarannya di Gramedia terdekat tidak kurang seratusduapuluh ribu, namun tujupuluhribu juga bukan harga yang dirasa Kamto cocok untuk buku yang tidak direncanakannya dari rumah. “waduh bang, saya sanggupnya seratus ribu buat buku ini sama panjarnya, limapupuh-limapuluh! Oke bang?” Kamto melakukan tawaran terakhir. Sang penjual buku berfikir matang sejenak seolah membingungkan untung rugi, namun akhirnya sepakat melihat tampang Kamto yang setengah gerakan dan setengah mendayu karena mengharap “Hmmm, okelah kau boleh ambil itu buku, dan aku tunggu sampai batas dua bulan DBR-mu lunas ya!!” sambil menulis di kwitansi dan memberikannya ke Kamto. “Oh iya, mana No HP-mu dan siapa namamu?” sambil tukang buku itu mencatat nomor Kamto. Sebaliknya, Kamto juga meminta nomornya “siapa namanya kuketik di nomor ini bang?”. Lalu penjual itu menjawab “buat namaku Abu!”.

Kamto berjalan pelan mencari tempat duduk di luar areal penjualan buku Titi Gantung, sekedar merenggangkan kakinya yang pegal karena berjalan terus mengelilingi lapak-lapak buku tadi. Maka duduk ia di sebuah pot bunga besar di area taman lapangan merdeka. Dibukanya buku yang tadi dibelinya dan ia melompati bagian pendahuluan buku itu dan langsung memasuki Bab 1 buku itu, judulnya “Lahirnya Seorang Economic Hit Man”. Buku itu secara keseluruhan menggambarkan bagaimana Amerika selaku Negara yang mempunyai peranan dalam pembangunan Negara-negara di dunia, terutama Negara-negara dunia ketiga. Yang memprihatinkan tentangnya bahwa tujuan utama Amerika dalam membangun peradaban adalah untuk membuat seluruh dunia bergantung kepada Amerika dan tak dapat lepas darinya. Di balik buku itu tertulis “Cerita bagaimana Amerika berubah dari republik yang dihormati menjadi kerajaan yang ditakuti”. Cukup jelas bahwa buku itu adalah sebuah kisah tentang kenyataan yang tidak banyak disadari oleh mayoritas populasi di dunia namun terjadi hampir di seluruh muka bumi.

Sejam Kamto terduduk sembari membaca fakta di halaman-halaman buku yang dipegangnya, membuatnya ingin sedikit rehat sambil berjalan-jalan di sisi lain Merdeka Walk berbeda. Dilihatnya dua orang Pemuda berpakaian casual dan bergaya agak jalanan menapaki trotoar di dekat pintu masuk pusat jajanan di sana. Yang satu berkaos hitam dengan gambar wajah Bung Karno dan yang satu lagi berambut gondrong dengan tatanan yang berantakan, “sungguh a la Aktivis” pikir Kamto dalam hati. Diperhatikannya kedua lelaki muda yang diasumsikan seumuran dengannya itu terus mendekat ke satu pusat makanan cepat saji yang ada di Merdeka Walk, akhirnya mereka berhenti dan duduk di satu meja dengan dua buah bangku. Dilihat Kamto tempat makan itu, McDonald, begitu namanya. Kamto termenung, “apa yang sebenarnya dilakukan kedua orang itu?” Kamto seolah melihat suau anomali dalam kejadian tersebut. Mereka, orang-orang yang menubrukkan dua buah simbol yang bertolak belakang satu sama lain menjadi satu kultur baru yang modern, stagnan dan mainstream. Kamto berfikir lagi “apakah kalau aku menjadi mereka, aku akan punya keinginan untuk membeli buku-buku ini,dan mempunyai keinginan untuk berfikir seperti saat ini? Apa yang sebenarnya  ada dalam pikiran mereka?”.

Kamto berfikir panjang untuk ini dan semua fenomena-fenomena lainnya, mereka yang mengenakan kaos bergambar Che Guevara dan bercelana rombeng namun pergi ke Sun Plaza Medan, atau mereka yang mendiskusikan tentang nasib dan kenaikan jumlah rakyat miskin di Starbucks. Kamto  mebhisap sebatang lagi rokok dari tasnya, berfikir tentang kenyataan ini mengantarkan Kamto untuk pulang menaiki angkot yang biasanya digunakannya. Ia tak pernah kembali ke tempat bang Abu untuk mengambil bukunya.

10 lagu paling romantis


Buat ngangetin suasana ada baiknya kalo kita sedikit bernostalgia dengan 10 lagu paling romantis yang sejarahnya pernah kedengeran di telinga (sekedar rekomendasi dari ane ni gan).

1.       Speak Softly Love ( Al Martino)
Lagu ini ditulis pada tahun 1972 (jauh sebelum ane nimbrung ke dunia) sebagai soundtrack dari filmnya Al Pacino yang tersohor “The Godfather”, memang di film  itu aja banyak sekali lagu-lagu “layak dengar” yang dus masuk nominasi best soundtrack di masanya. Kalo di denger lagu ini memang memberikan atmosfer Italia yang kental dengan kisah cinta yang abstrak dan dramatis, enak di telinga dan bahkan udah dikeluarin dalam berbagai versi termasuk jazz, instrumental piano, gitar bahkan harmonika. So sweet and lovely.
2.       Can’t Take My Eyes Off of You ( Morten Harket)
Kalo  ada yang berencana nembak cewek dengan cara yang romantis, coba mulai pantengin ni lagu sering-sering, dijamin inspirasi pun muncul dengan seksama. Lagu ini punya lirik gombal yang ampuh untuk digunakan dalam segala kondisi (ujan, dinner, jogging ato pas belanja dipasar jiaaaaah), dijamin cewek sasaran bakal klepek-klepek dan terhipnotis ke pelukan gan.

3.       Michelle ( The Beatles)
The Beatles memang di turunkan oleh Tuhan untuk membuat manusia mempercayai keberadaanNya, tapi disisi lain membuat kebanyakan manusia malah menganggap The Beatles lah Tuhan mereka. Di lagu ini, Mc.Cartney menunjukkan kalau mereka (pada tahun segituan) dapat menciptakan musik yang membuat orang serasa mengawang-awang dibombardir kedamaian. Hampir keseluruhan lagu Beatles bercerita tentang romantisme percintaan, bahkan apabila judul lagu diatas saya ganti dengan lagu Beatles lainnya mungkin tidak ada yang bakal complain, tapi mungkin lagu ini menginterpretasikan keseluruhan persembahan cinta kepada wanita.
4.       Love of My Live ( Queen)
Entah apa yang merasuki tubuh seorang Fredy Mercury sehingga di mempunyai suara yang super-duper catchy, dengan stage act yang memang mendukungnya bersama Queen menjadi pujaan dunia. Lagu ini sampai hari ini masih menjadi hits yang lantunkan bahkan oleh bintang pop di film Glee. Fredy adalah jelmaan paradoksal manusia, sebagai seorang lelaki yang mencintai feminimitas, hingga ane pun menjadi gamang lagu ini sebenarnya dibuat untuk siapa.

5.       Imagine (John Lennon)
Pertama-tama, saya sendiri heran mengapa saya memasukkan lagu ini dalam klasifikasi lagu romantik, namun akhirnya saya mengerti bahwa Imagine adalah universalitas. Sesuatu yang tanpa batas adalah segala penjelasan tentang keberadaan. Imagine adalah jalan manusia menuju kepada Tuhan. Lirik dalam lagu ini terdengar tragis dalam satu kewarasan mainstream, tentang suatu kemungkinan yang paling tidak masuk akal. Disinilah letak romantisme lagu ini, yang bukan hanya terbatas pada cinta seorang pria kepada wanita, tapi melingkupi manusia yang satu dengan yang lain hingga akhirnya mereka menemukan apa itu “Tuhan”.
6.       Something Stupid (Robbie William & Nicole Kidman)
Lagu ini secara eksplisit memang adalah lagu percintaan dan memang kedengaran romatis dengan vokal Robbie dan Nicole, but so, anything special in this song? Kenyataannya lagu ini dinyanyikan oleh duo jutawan, yang satu adalah salah satu penyanyi terkaya di Inggris dan yang satunya lagi adalah artis terkaya di tanah Australia. Jadi untuk single yang ini cukup cucok buat mereka yang menyenangi lagu dengan nilai materialistis yang tinggi hehehe.
7.       More Than Words ( Extreme)
Siapa yang tak kenal lagu ini? Kebanyakan pria dan wanita normal familiar dengan petikan gitar Nuno Bettencourt di lagu ini, ane pribadi pernah menggunakan ni lagu buat single pas perpisahan SMP di sekolah. Alhasil, cewek-cewek pada tereak dan bahkan ada yang yang nangis. Afgaaaaaaan. Ni lagu memang punya daya tarik tersendiri, easy listening, dan merdu sebagai pengantar tidur.
8.       I Have but one heart (Nino Rota)
Yaps, ini juga salah satu soundtrack pada film The Godfather. Di lagu ini banyak sekali gombalan-gombalan jadul khas Italia yang dibalut dengan vokal semi-tenor nya Nino Rota, kalo didengerin pake sound yang keras, betapa indah lagu ini nyangkut di telinga.

9.       Stairway To Heaven ( Led Zeppelin)
Sebenarnya sama seperti lagu Imagine yang dinyanyikan oleh John Lennon, Led Zeppelin telampau banyak meletakkan nilai-nilai mistis di lagu ini. Lirik lagu ini sebenarnya lebih universal, namun saya secara pribadi sangat mencintai nada yang diciptakan Jimi Paige dalam komposisi gitarnya, itu terdengar sungguh-sungguh sangat romantis, seorang pria yang mencintai gitarnya hingga ia dapat menciptakan nada di lagu ini. Bahkan keindahan lagu ini tidak hilang dimainkan secara backward, namun memunculkan nilai mistis yang sedikit meyeramkan.
10.   I don’t wanna miss a thing (Aerosmith)
Lagu Aerosmith yang ini pasti pernah jadi favorit semua orang yang menonton dengan seksama film Armageddon. Ya, lagu ini memang “kenak” banget dengan adegan Bruce Willis mengurbankan diri demi menantunya bisa balik ke bumi. Roman-romannya lagu ini bisa diartikan sebagai cinta seorang cowok kepada cewek atau seorang ayah kepada anaknya. So romantic.

Jack

      Julia telah menikah dengan Sam selama lebih dari enambelas tahun, sampai akhirnya Sam meninggal bulan lalu karena kecelakaan dalam pekerjaan. Kesedihan masih menyelimuti Julia yang harus menghidupi dua anaknya, Jack dan si kecil Mary, sendirian. Julia harus menghemat uang santunan yang diberikan perusahaan tempat Sam bekerja sampai ia mendapat pekerjaan yang bisa membantunya menghidupi kedua anaknya serta biaya sekolah yang kian lama semakin membengkak. Semester depan Mary akan masuk sekolah dasar, dan itu menjadi beban tersendiri buat Julia yang masih harus berkeliling kesana-kemari untuk mencari sedikit peluang usaha untuknya dapat menjamin masa depan anak-anaknya.
Jack tahun ini berusia 15, ia adalah seorang anak yang penurut dan mungkin anak yang tidak banyak menuntut untuk ukuran seusianya. Mungkin ia menyadari bagaimana kondisi yang kini mendera ibunya, atau mungkin ia terpaksa harus tahu bagaimana berada pada posisi tersebut. Paling tidak Julia dapat sedikit lega dengan kehadiran Jack yang biasanya diamanahkan untuk menjaga Mary selama Julia harus mencari pekerjaan di luar, juga untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang biasanya dilakukan Julia. Jack adalah anak yang tenang, meskipun ia merasa waktu bermainnya bersama teman-teman di luar rumah menjadi berkurang karena itu. 

 

Suatu hari sepulang sekolah, Jack diberi tugas untuk memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci, Julia sedang berangkat ke tempat Nicole, sepupunya, untuk mencari peluang usaha untuk sekedar mencerahkan kehidupan mereka, ia membawa Mary. Namun Jack lupa melakukan tugasnya dan bermain skateboard bersama teman-temannya di taman kota, sesuatu yang sering dilakukannya sebelum kepergian Sam. Hingga akhirnya dia teringat akan tugas tersebut dan bergegas pulang untuk melakukannya. Namun sore itu Julia telah berada di rumah, tengah memasak di dapur. Jack bergegas menuju mesin cuci karena tahu ia terlambat melakukan tugasnya, namun pakaian kotor telah semuanya dimasukkan ke dalam mesin.
Julia menghampiri Jack dengan seketika berada di belakangnya, Jack yang kebingungan langsung bermohon “Maaf bu, aku baru ingat”, ibunya langsung meyambar “Tak bisakah kau memahami keadaan kita sekarang Jack, ataukah aku telah merawat seorang pembangkang?”, “Aku minta maaf bu, aku hampir lupa, aku bersumpah” Jack menimpali lagi. Julia masih pada tingkat emosi yang sama “apakah aku saja yang harus melalui masalah ini sendiri,tak bisakah kau membantuku sedikit Jack? untuk memahami kondisi ini?. Jack dengan nada bermohon berkata “ Apakah bila ibu bercerita dengan teman-teman ibu tentang kondisi rumah kalian, tentang anak-anak mereka yang ketergantungan obat-obatan dan  yang mati karena AIDS, ibu akan berkata “akhhh, itu belum seberapa, Jack anakku lupa memasukkan pakaian ke mesin cuci”!! ”. Julia tersentak dan terdiam, rasanya ia kembali kepada kesadaran bahwa selalu ada Jack yang membantunya melewati masalah-masalah ini, dalam depresinya yang benar-benar dalam. Apakah itu semua akan hilang hanya karena Jack lupa memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci? Ia lupa tentang Jack, apa yang dikorbankannya, masa remajanya yang seharusnya diisi dengan keceriaan. Julia mendatangi kamar Jack, dengan berkaca-kaca ia berbisik “terima kasih Jack”. Sedikit pelukan hangat di sore hari.

Noda spidol



Alice dan tom adalah teman kecil yang sangat setia, minggu depan alice akan merayakan ulang tahunnya yang ke-10, tepat tiga bulan sepuluh hari setelah tom merayakan ulang tahunnya pada usia yang sama. Alice berasal dari sebuah keluarga mapan yang pendapatan ayahnya hampir duapuluh kali pendapatan ibu Tom, dapat dimaklumi karena ibu Tom, Martha, harus berjuang sendiri setelah kepergian suaminya tiga tahun yang lalu.

Pagi ini entah kenapa Tom terlihat murung dirumahnya, padahal biasanya dari pukul 9 hingga pukul 12 adalah waktu bermain ular tangga di rumah Alice yang diselingi kudapan yang dimasak ibu Alice, kemarin ibunya meletakkan puding jagung di depan meja bermain mereka. Tom terlihat memelototi sepatu pemberian Alice tiga bulan yang lalu, pada ulang tahunnya yang dirayakan di rumah dengan lima orang teman mereka yang lain. Dalam benaknya dia bingung, hadiah apa yang harus ia berikan kepada Alice minggu depan. Ini tanggal 15, pertengahan bulan adalah tanggal dimana ibu Tom berjuang mengumpulkan uang untuk membayar tagihan listrik dan air panas. Sepertinya bukan ide yang tepat untuk meminta kepada ibunya sebuah hadiah kecil untuk Alice dalam kondisi ini.

Namun tom yang periang tetap mencoba berkomunikasi dengan ibunya perihal hal tersebut, dan sesuai dugaan, ibunya menjawab, “Ucapan selamat sepertinya sudah cukup baik untuk Alice, kondisi kita tidak memungkinkan”, Tom terus mendesak “Atau mungkin sebuah hadiah yang terlambat bu”, seperti sebelumnya sang ibu menjawab “Sudah seharusnya kau memahami kondisi kita Tom!”. Kembali ke kamarnya, Tom termangu dan berfikir tentang apa yang seharusnya telah ia dapat lakukan andai saja ia berada dalam kondisi yang lebih baik. “Namun apa ini saatnya untuk menyerah?, pikirnya. “Setidaknya aku bisa melukis” hatinya mengamini lagi.

Tom bersekolah tidak jauh dari rumahnya, dan dikenal sebagai anak yang menonjol dalam seni dan rupa, tapi ia lemah dalam matematika. Ia mulai memeriksa meja belajarnya, dan menemukan peralatan gambar yang tersisa tidak lebih dari 10% warna merah dan ungu, alat pewarna yang lainnya telah habis total. Dan ia menemukan sebuah spidol hitam masih terbungkus belum terpakai. Diambilnya sebuah kertas gambar lebar yang sudah tidak lagi putih sempurna, kekuning-kuningan. Ia mulai menarik tipis kerangka sketsa berbentuk oval dengan ketebalan seperempat spidolnya, ia mulai menggambar. Sketsa yang dibuatnya dilanjutkan dengan tarikan lebih tipis memanjang dan berulang, setelah beberapa lama tampak sketsa tersebut menggambarkan seorang perempuan dengan rambut panjang hingga bahu. Tom menyelesaikan bagian gambarnya hari ini setelah jam menunjukkan pukul 10 malam, ia tidur.

Gambar tersebut dilanjutkan Tom dalam empat hari berikutnya hingga benar-benar sempurna, gambar itu menunjukkan seorang gadis kecil dengan mata besar, hidung yang mancung dan bintik di wajahnya. Namun terdapat dua noda pada tengkuk belakang telinga, di bawah kepangan rambut gadis itu, terlihat seperti sebuah tato yang lebih menyerupai luka. Tom bingung karena noda itu tampak jelas baginya hingga ia begitu pusing bahwa Alice tidak akan pernah suka pada gambar itu, ya, itu adalah gambar Alice sebagai hadiah yang akan diberikan Tom dua hari lagi.

Pada hari rabu berikutnya, Alice mengadakan acara ulang tahun yang cukup meriah untuk ukuran seorang anak berumur sepuluh tahun, pesta barbekyu di belakang rumah dengan banyak topi kerucut dan sirop dingin. Tom mengenakan kemeja terbaiknya yang berwarna biru dengan kerah terbuka dan agak runcing di ujungnya, kemeja itu memang tampak tepat untuknya. Tom berucap selamat kepada Alice, ia pun memberikan bungkusan panjang berwarna merah dengan pita putih menghiasinya. Alice yang penasaran setelah menerima hadiah itu lantas membukanya dengan cepat dan penuh rasa ingin tahu. Sebuah lukisan wajah dengan bingkai kayu coklat dipegangnya dengan senyuman , “Ini luar biasa Tom, Aku sangat menyukainya” Alice berkata riang. Tom yang takut Alice akan melihat dua noda pada gambar itu bertanya, “Apakah kau tak melihat sesuatu yang jelek dan mengotori gambarmu Alice? Dua noda yang ada di belakang telingamu?”, lantas Alice menjawab dengan senyum yang lebih lebar “Mengapa aku harus melihat dua noda jelek itu sedangkan ada ribuan goresan indah di gambar ini Tom?”. Senyum Tom pun mengembang.