Kamto menghampiri satu lapak buku yang sudah beberapa kali didatanginya sebelumnya, ia pernah membeli buku Pramoedya Ananta Toer disitu, judulnya “Boemi Manoesia” kalau tidak salah. “Bang ada punya DBR-nya (Dibawah Bendera Revolusi) Soekarno?” tukas Kamto membuka bicara. Pria paruh baya yang ada di toko itu berpikir sejenak, seolah mengingat, “Wah kemarin itu aku sempat punya, tapi udah laku-lah dek. Kalau tidak salah yang beli anak ITB” sahut si penjual buku. “Buku lawas itu, susah sekali nyari’nya. Kalaupun ada harganya tinggi, pembelinya biasanya mau menjadikan koleksi itu buku!” si penjual melanjutkan lagi. Sambil memantau buku-buku yang ada di rak lapak itu Kamto berfikir sejenak tentang alternatif buku lain yang ingin dibelinya, tapi hati Kamto terlalu teguh ingin mengetahui buku yang sedang dicarinya itu. “Aku harus mendapatkannya!” imbuh Kamto dalam hati. Kembali disusurinya lorong-lorong yang ada di tempat itu berharap mendapatkan suatu keberuntungan tentang buku tersebut, tidak jarang ia berhenti di beberapa lapak untuk sekedar bertanya kepada penjualnya. Namun memang buku itu bukanlah sebuah buku gampangan seperti “Pengantar Ilmu Politik”-nya Miriam Budiarjo atau “Etika”nya K.Berstein yang memang persediaannya bejibun disana. Dengan peluh yang semakin menetes, tanpa ada seorang temanpun yang dapat diajak berbicara, Kamto kembali melangkah ke arah paling ujung barisan lapak yang ada di Titi Gantung itu.
Kamto berhenti di depan sebuah warung makan yang ada di dalam areal penjualan Buku-buku disana, ia tidak memesan makanan, ia hanya memesan segelas teh manis dingin dengan bongkah es yang dimintanya berukuran besar. Dikeluarkannya sebatang rokok dari dalam kantung kecil di tas sandangnya bersama dengan sebuah pemantik berwarna merah, ia duduk sebentar disana, dihisapnya sebatang rokok itu sambil menyeruput dengan agak cepat teh di depan tempat duduknya. Sekitar sepuluh menit ia disana berlindung dibawah tenda kedai dari sinar matahari yang hari itu cukup terik, diakhirinya rokoknya dengan sebuah tarikan panjang dilanjutkan dengan tegukan terakhir dari gelas teh manisnya. Dikeluarkannya lembar lima ribu rupiah, sembari berdiri bertanya ia “berapa bu?”, “dua ribu lima ratus” jawabnya, lantas meraih lembaran uang dari tangan Kamto. Setelah mengantongi lembaran uang kembalian minumannya, kembali Kamto melangkah di kedai-kedai penjual buku yang banyak itu, seperti tadi, sendiri.
Lebih satu jam setengah berlalu, Kamto sudah menyusuri lorong-lorong dan gang yang ada disana hingga untuk pertama kalinyaia didatangi oleh seorang penjual buku yang belum terlalu tua, “Kudengar kau mencari DBR ya?” bisik laki-laki itu, “Darimana ia tahu?” pikir Kamto sambil bertanya “abang punya yang mana?”. Si penjual buku itu lantas menaiki kursi kecil yang ada di dalam lapaknya sembari mencari di bagian teratas tumpukan buku, kemudian tak berapa lama ia menarik sebuah buku yang berukuran cukup tebal dengan kotak dan cover yang warnanya sama-sama biru dan di covernya terdapat gambar beberapa orang yang tampak bermacam ragam, namun gambar itu sangat bagus. “Ini DBR jilid pertama dik, masih bagus” katanya, Kamto yang ingin tahu bertanya “Memangnya buku ini ada berapa jilid bang?”, “ada dua jilid, aku pernah punya jilid kedua yang setauku lebih lengkap dari jilid pertamanya, sekarang udah dibeli sama orang yang masih saudara jauhku. Anak HmI dia.” Tukas penjual itu. Buku-buku seperti itu memang kebanyakan dimiliki oleh orang-orang yang memilih jalan gerakan dan aktivisme sebagai dasar berpikirnya. Tidak jarang mereka mencari buku-buku dari pemikir yang lebih kiri seperti “Madilog”nya Tan Malaka atau bahkan “Das Kapital”nya Karl Marx, yang dari kesemua buku itu bukan mudah ataupun murah mendapatkannya, dalam versi asli tentunya.
“Berapa abang kasih harga buku ini bang?” Tanya Kamto langsung. “Ini gak kulepas di bawah tigaratus dik!” sambar sang penjual menekankan. “Tigaratus ribu ya bang?” sebut Kamto lagi dengan nada agak kecewa. Sang penjual menyambar “Aku melepas jilid keduanya enamratus ribu, itu sudah tergolong murah, karena memang banyak yang cari”. “Apa tidak bisa kurang bang?” Kamto agak mendesak, sembari mengintip berapa persediaan dana yang ada di dompetnya. “Karena kulihat minat dan semangatmu ada, kukasih duaratuslimapuluh saja untukmu” balas sang penjual lagi setelah berfikir sejenak. “Itu masih ketinggian, saya anak kuliahan bang!” Kamto berusaha. Agak dilihat-lihatnya buku itu, sembari melihat spesifikasi dan kondisinya. Buku itu setebal 630 halaman dengan posisi daftar isi buku terletak di lembar paling belakang, kertasnya berwarna kuning dengan ketebalan dan jenis yang tidak biasa, mungkin dari semenjak buku itu dibuat sudah seperti itu, sepertinya.
“Kalo dibawah segitu, aku gak kasih dulu lah dek. Aku bukan niatnya mau bikin kecewa, tapi memang begitu keadaannya. Bagaimana kamerad?” lanjut si penjual. Kamto terlihat bersemangat namun disadarinya di dompetnya hanya tersedia uang seratustigapuluh dua ribu limaratus perak, itu pun sudah terhitung ongkos, akhirnya ia pun undur. “Begini saja!” Buka si penjual lagi dengan sedikit berfikir. “Aku simpankan buku ini buatmu jika kau bisa kasih uang panjar ke aku kamerad! Nanti kalau kau sudah ada uang penuh baru bukunya aku kasih, jadi buku ini tidak aku jual ke orang. Bagaimana?” Tanyanya lagi. Kamto berfikir realistis dan logis memang itu jalan yang paling baik untuknya, namun ia ingin usahanya seharian ini paling tidak membuahkan hasil, satu buku mungkin lebih baik. “Kamerad punya buku apa lagi untuk bisa dibaca, ya yang mengarah-ngarah kesitu (-gerakan-)?” sambil melihat tumpukan buku lain ia bertanya. Si penjual berfikir sejenak kemudian bergerak ke rak yang cukup tinggi di lapaknya, “Banyak juga kemarin-kemarin yang mencari buku seperti itu dek, biasanya anak organisasi, Hmi, Gmni, dan gerakan-gerakan gitu yang lain. Aku pun gak mau bikin sulit kawan-kawan, soalnya tujuannya kan baik sih. Pokoknya aku jual buku buat membantu juga!” Sambil diturunkannya sebuah buku yang kelihatan masih baru kepada Kamto. Dalam buku itu tertulis “Confession of An Economic Hitman” penulisnya John Perkins. Kamto samar-samar seperti pernah mendengar judul itu tapi entah kapan dan apa pastinya ia tak tahu.
“Tentang Konspirasi. Amerika Serikat. Kapitalisme” sambung sang penjual. Kamto mulai tertarik mendengar tentang hal-hal yang memang menurutnya sesuai dengan jalannya, buku ini membuatnya penasaran. “Tapi aku pingin kali buku tadi bang!” Kamto terdengar mengiba. “begini saja, kau kasih aku seratusduapuluh ribu untuk buku ini dan memanjar DBR-mu. Nanti kau tinggal bayar duaratus ribu lagi. Pas kan?” Saran bang penjual. “berarti buku ini harganya tujuhpuluh ribu,amboi!” pikir Kamto dalam hati. Buku itu memang masih baru dan banderol pasarannya di Gramedia terdekat tidak kurang seratusduapuluh ribu, namun tujupuluhribu juga bukan harga yang dirasa Kamto cocok untuk buku yang tidak direncanakannya dari rumah. “waduh bang, saya sanggupnya seratus ribu buat buku ini sama panjarnya, limapupuh-limapuluh! Oke bang?” Kamto melakukan tawaran terakhir. Sang penjual buku berfikir matang sejenak seolah membingungkan untung rugi, namun akhirnya sepakat melihat tampang Kamto yang setengah gerakan dan setengah mendayu karena mengharap “Hmmm, okelah kau boleh ambil itu buku, dan aku tunggu sampai batas dua bulan DBR-mu lunas ya!!” sambil menulis di kwitansi dan memberikannya ke Kamto. “Oh iya, mana No HP-mu dan siapa namamu?” sambil tukang buku itu mencatat nomor Kamto. Sebaliknya, Kamto juga meminta nomornya “siapa namanya kuketik di nomor ini bang?”. Lalu penjual itu menjawab “buat namaku Abu!”.
Kamto berjalan pelan mencari tempat duduk di luar areal penjualan buku Titi Gantung, sekedar merenggangkan kakinya yang pegal karena berjalan terus mengelilingi lapak-lapak buku tadi. Maka duduk ia di sebuah pot bunga besar di area taman lapangan merdeka. Dibukanya buku yang tadi dibelinya dan ia melompati bagian pendahuluan buku itu dan langsung memasuki Bab 1 buku itu, judulnya “Lahirnya Seorang Economic Hit Man”. Buku itu secara keseluruhan menggambarkan bagaimana Amerika selaku Negara yang mempunyai peranan dalam pembangunan Negara-negara di dunia, terutama Negara-negara dunia ketiga. Yang memprihatinkan tentangnya bahwa tujuan utama Amerika dalam membangun peradaban adalah untuk membuat seluruh dunia bergantung kepada Amerika dan tak dapat lepas darinya. Di balik buku itu tertulis “Cerita bagaimana Amerika berubah dari republik yang dihormati menjadi kerajaan yang ditakuti”. Cukup jelas bahwa buku itu adalah sebuah kisah tentang kenyataan yang tidak banyak disadari oleh mayoritas populasi di dunia namun terjadi hampir di seluruh muka bumi.
Sejam Kamto terduduk sembari membaca fakta di halaman-halaman buku yang dipegangnya, membuatnya ingin sedikit rehat sambil berjalan-jalan di sisi lain Merdeka Walk berbeda. Dilihatnya dua orang Pemuda berpakaian casual dan bergaya agak jalanan menapaki trotoar di dekat pintu masuk pusat jajanan di sana. Yang satu berkaos hitam dengan gambar wajah Bung Karno dan yang satu lagi berambut gondrong dengan tatanan yang berantakan, “sungguh a la Aktivis” pikir Kamto dalam hati. Diperhatikannya kedua lelaki muda yang diasumsikan seumuran dengannya itu terus mendekat ke satu pusat makanan cepat saji yang ada di Merdeka Walk, akhirnya mereka berhenti dan duduk di satu meja dengan dua buah bangku. Dilihat Kamto tempat makan itu, McDonald, begitu namanya. Kamto termenung, “apa yang sebenarnya dilakukan kedua orang itu?” Kamto seolah melihat suau anomali dalam kejadian tersebut. Mereka, orang-orang yang menubrukkan dua buah simbol yang bertolak belakang satu sama lain menjadi satu kultur baru yang modern, stagnan dan mainstream. Kamto berfikir lagi “apakah kalau aku menjadi mereka, aku akan punya keinginan untuk membeli buku-buku ini,dan mempunyai keinginan untuk berfikir seperti saat ini? Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran mereka?”.
Kamto berfikir panjang untuk ini dan semua fenomena-fenomena lainnya, mereka yang mengenakan kaos bergambar Che Guevara dan bercelana rombeng namun pergi ke Sun Plaza Medan, atau mereka yang mendiskusikan tentang nasib dan kenaikan jumlah rakyat miskin di Starbucks. Kamto mebhisap sebatang lagi rokok dari tasnya, berfikir tentang kenyataan ini mengantarkan Kamto untuk pulang menaiki angkot yang biasanya digunakannya. Ia tak pernah kembali ke tempat bang Abu untuk mengambil bukunya.